in the mood", Selasa, Juni 03, 2008

Solusi Donasi

Teman saya pernah berteori bahwa orang melakukan charity itu karena rasa bersalah. Waktu itu baru saja terjadi tragedi tsunami 2004. Pelajar-pelajar Indonesia di Belanda sibuk berusaha, ingin melakukan sesuatu untuk Aceh. Teman itu, yang kebetulan orang Belanda, berkomentar: "Kalian ini ngapain sebenarnya? Pekerjaannya itu ada di sana, bukan di sini (di Belanda). Kesibukan kalian ini cuma untuk mengurangi rasa bersalah saja karena tidak bisa berada di tempat yang membutuhkan."

Kali lain, kolega saya berusaha menunjukkan simpatinya atas tsunami. Tanpa sengaja dia bilang, "Tapi saya sudah nyumbang lho, ... (sekian ratus) Euro." Jumlah tersebut memang besar untuk sebuah donasi, walaupun kebetulan saya tahu bahwa mesin kopi di dapurnya lebih mahal. Bukan jumlahnya yang bikin saya mikir, tapi ekspresi keprihatinan yang diikuti dengan kelegaan. Lega karena, setelah menyumbang, ya masalah selesai.

Orang menyumbang asumsinya memang berada dalam kondisi yang lebih beruntung. Sering kali, ada perbedaan jauh antara kondisi donatur dan penerima donasi. Entah kenapa, biasanya sah-sah saja kalau sang donatur tidak ingin kehilangan sedikit pun kenyamanannya. Lebih sah daripada ketika si penerima donasi ingin sedikit perbaikan nasib.

Rasa bersalah yang disebut-sebut teman saya itu memang bisa jadi dilema, apalagi kalau keluar dari zona kenyamanan dianggap bukan pilihan yang "bijaksana". Berdonasi bisa jadi jalan keluarnya, minimal untuk tidak kelihatan salah. Juga memberi ketenangan pada sang donatur, yang sekarang adalah orang baik-baik yang punya hati. Masalah selesai.

Ketika para socialites Jakarta menyerukan bantuan pada korban Lapindo, saya sempat curiga ini gara-gara postingan di blog ini. Tapi, tentunya seruan tsb karena mereka adalah "good girls who just happen to spend time donating to charities and dressing well". Entah apakah ada rasa bersalah yang sempat lewat di sini. Yang jelas, antara kegiatan sosial dan kenyamanan hidup sepertinya perlu berjalan seiring, sekalipun permasalahan sosial di sekitarnya menuntut lain.

Waktu kecil saya pernah mendengar ajaran tentang "memberi dalam kekurangan". Aneh, kenapa tidak ada ajaran tentang "memberi dalam kelebihan" ya?

4 Comments:

At Sen Jun 09, 01:13:00 PM GMT+2, Blogger tita said...

tidak memberi dalam kelebihan=orang kaya pelit ga tau diri. memberi dlm kelebihan=orang kaya yang baik hati dan tidak pelit. memberi dlm kekurangan=malaikat. tidak memberi dlm kekurangan=ya iya la, uda kurang disuru ngasih lagi. ^_^

 
At Rab Jun 11, 10:46:00 AM GMT+2, Anonymous Anonim said...

menurutku sih, kemampuan orang berbeda-beda. ada yang memang mampu menyumbangkan tenaga dan pikiran bahkan uang sekaligus. tapi banyak juga yang mampunya baru menyumbang dana. dan itu juga sesuatu. jadi, lakukan semampumu, lakukan apa yang kamu (baru) mampu. itu menurutku, seseorang yang mampunya baru berupa menyumbang sedikit dana di sana sini. hehehe... (ijulsz)

 
At Sel Jun 17, 01:45:00 PM GMT+2, Anonymous Anonim said...

Pemikiran yang sangat menarik. Sungguh, saya terhenyak dengan pemikiran seperti itu...

 
At Sel Jun 17, 09:21:00 PM GMT+2, Blogger peregrin said...

@vegee: hehehe iya, kalo udah kurang masih disuruh ngasih, ya jadi bete ya :D

@ijul: bener juga sih Jul, kemampuan orang dan kesempatan memang beda2. Tapi kalo kita ngga cepat merasa puas dan terus bergumul, memikirkan bgm caranya spy bisa berbuat lebih, kan bisa jadi lebih baik Jul? Krn kitanya jd terus mengingatkan diri sendiri, utk tetap peka, utk tetap sadar, utk tetap berusaha...

@doc_wong: salam kenal :)

 

Posting Komentar

<< Home