in the mood", Kamis, Oktober 05, 2006

Beda filosofi pengobatan?

Setelah batuk melulu kalau malam sejak Maret, terutama saat cuaca dingin (yang hampir tiap hari di sini, biarpun bln Agustus :-)), akhirnya aku ke poliklinik USZ kemarin. Ternyata aku didiagnosis asma ringan.
Bukan hanya dokter ini saja yg menduga asthma (minggu depan masih harus check lagi), teman2 di RS dan seorang teman dokter juga menduga yg sama krn mendengar batukku yg katanya "wheezing". Di Belanda 2 th yg lalu, sempat juga batuk parah. Dokter waktu itu tidak memberi tahu soal asthma, tapi dia memberikan obat yg sama dg sekarang, kortikosteroid inhaler, utk inflamasi di jalan napas.
Herannya, sejak lebih dari 5 th yg lalu di Indonesia, aku emang sering batuk sampai berbulan-bulan, dan sudah ke berbagai ahli THT. Gak ada seorangpun yg mendiagnosis asma, hanya dosis codein (sejenis opioid, utk menekan refleks batuk) dan antibiotikku aja yg semakin diperkuat :-) Apa ini salah satu contoh beda pengobatan di Eropa dan di Asia / Indonesia?

Sehabis dari poliklinik tsb, aku ketemu seorang teman dari Vietnam, dokter juga, dan dia tidak setuju dg hasil diagnosa tsb, "of course it's not asthma! you're coughing!!"
Kemudian dia curhat: menstruasinya sudah terlambat seminggu dan dia sudah tes dan tidak hamil. Dia jadi khawatir dan ingin di-ultrason oleh ginekolog di RS ini. Ternyata oleh ginekolog tsb, dia di-tes kehamilan lagi (dengan hasil negatif) dan disuruh menunggu seminggu lagi sbl permintaan tesnya disetujui. Teman ini mengeluh, "Dokter di sini terlalu mengikuti prosedur, step-by-step. Di negara saya, gampang sekali utk tes spt ini. Saya tinggal minta tolong kolega saya."

Jadi teringat cerita seorang teman lain yg suaminya, lagi-lagi, dokter. Kali ini dokter kandungan, dan suaminya ini bersekolah kedokteran di Jerman. Ketika kembali ke Indonesia, dia mengeluh tentang perbedaan2 antara yg dia pelajari di Jerman dg kenyataan yg dia lihat di Indonesia. Di Indonesia, operasi caesar gampang sekali dilakukan, bahkan hanya dengan alasan si ibu takut sakit. Sedangkan si teman dokter ini terlanjur diajarkan utk tidak mengambil resiko yg tidak perlu yg bisa membahayakan si pasien. Operasi caesar termasuk operasi besar dan harus dengan alasan yg benar2 kuat. Konflik batin deh jadinya :-)

Bagiku memang kelihatannya pengobatan di Asia (Indonesia) lebih berfokus pada meredakan symptom / gejala2 penyakitnya saja (dan dengan demikian juga meredakan keluhan si pasien :-)). Kalau kalian ke dokter di Belanda misalnya, jangan langsung berharap akan diberi obat. Konsultasi pertama, kemungkinan besar akan disuruh beristirahat dahulu. Terkena infeksi kandung kemih misalnya, seminggu pertama akan disuruh banyak minum air dan yg asam2 (jus jeruk dsb). Setelah seminggu, dites lagi dan kalau ternyata bakterinya masih berkeliaran barulah diberi antibacterial.

Aku pribadi sih sebenarnya lebih setuju cara pengobatan yg seperti ini, terutama untuk penyakit2 yg memang pengobatan yg tersedia hanya bersifat symptomatic, seperti flu. Beri kesempatan tubuh utk beristirahat dan memulihkan dirinya sendiri dulu. Untuk jangka panjang, ini lebih baik. Obat diberikan hanya jika benar2 perlu, selain untuk mengurangi efek2 samping yg tidak diinginkan, juga meminimalisasi penyalahgunaan obat.

Tapi jadi ngelantur lagi. Barangkali gaya pengobatan di Asia (Indonesia) yang seperti ini; yang seolah2: 'yang penting si pasien tidak mengeluh lagi'; terkait dengan kondisi sosial ekonomi di negara tersebut. Di Eropa, orang berhak untuk sakit :-) Cuti sakit kita tidak mengambil jatah hari libur kita. Di Swiss, kita berhak cuti 3 hari tanpa keterangan dokter. Dan dengan keterangan dokter, bisa "selama-lamanya" :-) dan tetap digaji. Di Indonesia, mana boleh orang sakit. Minimal jatah cuti diambil, atau malah bisa2 dipecat oleh bos. Barangkali kalau ada dokter di Indonesia yang menyarankan pasiennya utk bed-rest, bakal kagak bakal dibayar tuh dokter. Seperti kata teman saya, "buat apa ke dokter kalau nggak dapat obat!" :-)

2 Comments:

At Jum Okt 06, 07:57:00 PM GMT+2, Blogger sushartami said...

Aduh kasihan lagi sakit ya Rat? Aku juga sakit asma tapi udah sejak kecil. Di Indo emang dokter langganan dulu ga pernah kasih inhaler. Baru waktu di S'pore dokternya kasih itu dan dirujuk sampai sekarang. Aku pikir sih krn inhaler masih termasuk agak mahal kalo di Indo ya, makanya dokter jarang ngresepin (ponakan2ku jg ga dapat ventolin). Kalo dokter di Belanda, pengalamanku, pernah juga dikasih antibiotik untuk sakit batuk. Menurut pengalaman kalo keterlaluan lama treatmentnya juga susah, apalagi kalo udah menyangkut urusan dengan dokter spesialis. Emang sih lain ladang lain belalang, di Indo paling bagus punya dokter pribadi/langganan. Cepet sembuh ya (kalo asma ga bisa diobati kan? triggernya dingin kali?)

 
At Jum Okt 06, 09:21:00 PM GMT+2, Blogger peregrin said...

halo mbak wiwik :-) ... thanks ya perhatiannya. Iya nih, penyakit langganan, batuk. Emang kumatnya kalau pas malam atau lagi dingin. Tapi kata dokter sih masih baru asma ringan aja, asal peradangan saluran nafasnya diobati / dikontrol, ya nggak akan jadi parah.
Ini aku baru nemu website bagus mbak:
http://www.njc.org/disease-info/diseases/asthma/about/what/inflammation.aspx

Oalah mbak wiwik asma juga toh ... wah kita kok sama2 banyak penyakit to... :) ... tandanya butuh kasih sayang ini (lha?) hehehhe....

 

Posting Komentar

<< Home